Friday, February 21, 2014

pembuktian

Pembuktian Matematika

 Dalam logika matematika dikenal ada 2 pembuktian matematika,
  1. Pembuktian langsung
  2. Pembuktian tidak langsung, dibagi atas pembuktian kontraposisi dan kontradiksi
     A.  PEMBUKTIAN LANGSUNG
        Untuk menunjukan pernyataan (p=>q) benar dapat dilakukan dengan menggunakan premis  p untuk mendapatkan konklusi q. Metode pembuktian yang termasuk bukti langsung antara lain modus ponens, tollens, dan silogisme.

Contoh   : Buktikan bahwa untuk semua bilangan bulat n, jika n adalah bilangan ganjil, maka n2 adalah bilangan ganjil !

Jawab    :

Misalnya : p : n adalah bilangan bulat ganjil

               q  : n2 adalah bilangan bulat ganjil

Akan dibuktikan p => q benar.

Karena n ganjil, yaitu n = 2k +1, k € C

Maka  n2 = (2k + 1)2

              = 4k2 +4k +1

              = 2(2k2 + 2k) + 1

              = 2m + 1

Dengan m = 2k2 + 2k, yang berarti n2 adalah bilangan bulat ganjil

Jadi, terbukti p=>q benar.



B. PEMBUKTIAN TIDAK LANGSUNG
B1. PEMBUKTIAN KONTRAPOSISI
            Untuk membutikan ( p=>q ) benar, dapat dilakukan dengan memisalkan –q benar dan ditunjukan –p benar. Dari –q diperoleh –p benar sehingga (-q => -p) adalah benar.
Contoh          :
            Buktikan bahwa untuk semua bilangan bulat n, jika n2 adalah bilangan ganjil, maka n adalah bilangan ganjil!
Jawab                        :
Untuk membuktikan pernyataan diatas dapat dilakukan dengan pembuktian tak langsung dengan kontraposisi.
Misalnya  p    : n2 adalah bilangan ganjil
                 q     : n adalah bilangan ganjil
kemudian misalnya –q benar yang berarti n adalah bilangan genap, yaitu n = 2k
sehingga n2    = (2k)2
 = 4k2
 = 2(2k2)
 = 2m dengan m = 2k2
Yang berarti n2 adalah bilangan genap.
Dengan demikian, -p : n2 adalah bilangan genap
                                    -q : n adalah bilangan genap
Dan karena –q => -p adalah benar dan p => q ≡ -q => -p
Maka terbukti p => q adalah benar.
Jadi, terbukti bahwa jika n2 adalah bilangan ganjil, makan adalah bilangan ganjil.
B2. PEMBUKTIAN KONTRADIKSI
Untuk membuktikan (p => q) benar, dapat dilakukan dengan mengandaikan –q benar. Dari –q benar kita tunjukan suatu kontradiksi dengan p benar atau dengan pernyataan benar lainnya. Dengan demikian langkah seharusnya adalah q benar sehingga (p => q) benar .
Contoh          :
Buktikan bahwa ”jika n2 adalah bilangan ganjil, maka n adalah bilangan ganjil” dengan bukti tak langsung!
Jawab                        :
Misalnya n adalah bilangan genap, yaitu n = 2k, k € B.
Karena n = 2k
Maka n2  = (2k)2 = 4k2 =2(2k2)
                 = 2m dengan m = 2k2
Sehingga n2 adalah bilangan genap, kontradiksi dengan  n2 adalh bilangan ganjil.
Jadi, terbukti bahwa jika n2 adalah bilangan ganjil, maka n adalah bilangan ganjil.

konstruk 2

Hakikat Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivis

Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivisme adalah membantu siswa untuk membangun konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi, sehingga dengan konsep atau prinsip itu akan terbangun kembali transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep atas prinsip baru (Hudojo, 1981). Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi kognitif melalui aktivitas seseorang. Implikasinya adalah pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Siswa sendirilah yang harus aktif secara mental membangun pengetahuannya berdasarkan struktur kognitifnya (Parwati, 2004).
Secara lebih spesifik, Hudoyo (1998) mengatakan bahwa pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivis memiliki ciri sebagai berikut.
a. Siswa terlibat aktif dalam belajarnya, karena mereka belajar materi matematika secara bermakna dengan bekerja dan berpikir.
b. Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain sehingga menyatu dengan skemata yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap informasi yang lebih kompleks terjadi.
c. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang dasarnya adalah pemecahan masalah.

Jadi belajar matematika menurut pandangan konstruktivisme adalah suatu proses pembentukan pengetahuan melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh siswa selama kegiatan pembelajaran itu berlangsung. Agar kegiatan pembelajaran berlangsung secara efektif, maka guru sebagai fasilitator dituntut untuk bisa menyajikan suatu kondisi, sehingga siswa bisa belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Selanjutnya Suparno (1997) menyatakan bahwa proses konstruksi pengetahuan bercirikan sebagai berikut.
a. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang telah mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah siswa miliki.
b. Konstruksi pengetahuan adalah proses yang terus menerus. Setiap berhadapan dengan fenomena atau persoalan baru, diadakan rekonstruksi baik secara kuat atau lemah.
c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih dari suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru. Belajar bukanlah hasil pengembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menurut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.

Berdasarkan ciri-ciri di atas, diperoleh acuan bahwa dalam pembelajaran matematika setiap siswa harus mengkonstruksi pengetahuanya sendiri dan mempunyai cara sendiri untuk memahami suatu konsep. Di samping itu, siswa diharapkan mengetahui kekhasan dalam dirinya ketika belajar beserta keunggulan dan kelemahannya dalam memahami sesuatu. Ini berarti siswa yang aktif berpikir, merumuskan konsep dan mengambil makna. Peran guru disini adalah membantu supaya proses konstruksi itu berjalan agar siswa membentuk pengetahuannya.
Adapun tujuan belajar itu sendiri khususnya dalam belajar matematika diungkapkan Meier (2000) bahwa: (1) siswa seharusnya belajar berargumentasi (memberikan alasan) yang di dalamnya mencakup: pendasaran, penyusunan secara logis, penataan secara beruntun, (2) siswa seharusnya bersikap kreatif, yang di dalamnya mencakup bersedia dan siap untuk menemukan jalan pemecahan soal, membuat variasi dalam suatu keadaan, mengadakan kemungkinan-kemungkinan baru, dan (3) siswa seharusnya belajar untuk mematematiskan situasi, yang di dalamnya mencakup menangkap dan menguraikan situasi, memperoleh data, dan merumuskan hubungan dalam segala situasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa belajar matematika menurut pandangan konstruktivis adalah suatu proses pembentukan pengetahuan melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Agar kegiatan pembelajaran dapat berlangsung secara efekif, maka guru dituntut untuk mampu berperan sebagai fasilitator yang mampu menyediakan suatu kondisi sehingga siswa dapat belajar sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

konstruk1

. Hakikat Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kcil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalahperan aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

stdr pros pemb mat 2


Secara garis besar, untuk semua jenjang sekolah, kemampuan dasar matematika dapat diklasifikasikan dalam lima standar kemampuan dengan indikator sebagai berikut.
1.        Pemahaman Matematika
Secara umum indikator kemampuan pemahaman matematika meliputi mengenal, memahami, dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip, dan idea matematika. Polya (Pollateksek et al.1981) merinci kemampuan pemahaman pada empat tahap, yaitu (1) pemahaman mekanikal yang dicirikan oleh dapat mengingat dan menerapkan rumus secara rutin dan menghitung secara sederhana; (2) pemahaman induktif, yakni dapat menerapkan rumus atau konsep dalam kasus sederhana atau dalam kasus serupa; (3) pemahaman rasional, yakni dapat membuktikan kebenaran rumus dan teorema, dan (4) pemahaman intiutif, yakni dapat memperkirakan kebenaran dengan pasti (tanpa ragu-ragu) sebelum menganalisis lebih lanjut.
Berbeda dengan polya, Pollatsek et al (1981) menggolongkan pemahaman dalam dua jenis, yaitu (1) pemahaman komputasional, yaitu dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana dan mengerjakan perhitungan secara algoritmik, (2) pemahaman fungsional, yaitu dapat mengkaitkan satu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya dan menyadari proses yang dikerjakan.
Serupa dengan Pollaksek dan Skemp, Copeland (1979) menggolongkan pemahaman dalam dua jenis, yaitu (1) pemahaman instrumental, yakni hafal konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang lainnya, dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana, dan mengerjakan perhitungan secara algoritmik, dan (2) pemahaman relasional, yakni dapat mengaitkan satu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya.
Mirip pendapat Pollatsek dan Skemp, Copeland (1979) menggolongkan pemahaman dalam dua jenis, yaitu (1) knowing how to, yaitu dapat mengerjakan suatu perhitungan secara rutin/algoritmi, dan (2) knowing, yakni dapat mengerjakan suatu perhitungan secara sadar.

2.        Pemecahan Masalah Matematik (mathematical problem solving)
Pemecahan masalah matematik mempunyai dua makna. Pertama, sebagai suatu pendekatan pembelajaran, yang digunakan untuk menemukan kembali (reinvention) dan memahami materi/konsep/prinsip matematika. Pembelajaran diawali dengan penyajian masalah atau situasi yang kontekstual kemudian secara induksi siswa menemukan konsep/prinsip matematika.
Kedua, sebagai tujuan atau kemampuan yang harus dicapai, yang dirinci dalam indikator (a) mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah, (b) membuat model matematik dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya, (c) memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan/ atau di luar matematika, (d) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban, dan (e) menerapkan matematika secara bermakna.

3.        Penalaran Matematika (Mathematical reasoning)
Beberapa kemampuan yang tergolong dalam penalaran matematik di antaranya adalah (a) menarik kesimpulan logis, (b) memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola, (c) memperkirakan jawaban dan proses solusi, (d) menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, atau membuat analogi, generalisasi, dan menyusun konjektur, (e) mengajukan lawan contoh, (f) mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan, dan menyusun argumen yang valid, dan (g) menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung, dan pembuktian dengan induksi matematika.
4.        Koneksi Matematil (mathematical connection)
Kemampuan yang tergolong pada koneksi matematik di antaranya adalah (a) mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur, (b) memahami hubungan antar topik matematika, (c) menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari, (d) memahami representasi ekuivalen suatu konsep, (e) mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen, (f) menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik di luar matematika.

5.        Komunikasi matematik (Mathematical communication)
Kemampuan yang tergolong pada komunikasi matematik di antaranya adalah (a) menyatakan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, idea, atau model matematik, (b) menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan, (c) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika, (d) membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis, (e) membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi, (f) mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri.
Adapun sikap yang harus dimiliki siswa di antaranya adalah sikap kritis dan cermat, objektif dan terbuka, menghargai keindahan matematika, serta rasa ingin tahu dan senang belajar matematika. Sikap dan kebiasaan berpikir seperti di atas pada hakekatnya akan membentuk dan menumbuhkan disposisi matematik (mathematical disposition), yaitu keinginan, kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar matematika dan melaksanakan berbagai kegiatan matematika.
Berdasarkan karakteristik berpikir matematik dan/atau kompetensi matematika di atas, pengembangan berpikir matematik dan/atau kompetensi matematika serta sikap siswa perlu diutamakan untuk siswa SD, SM, juga mahasiswa calon guru. Selain itu pemilikan kemampuan berpikir matematik terutama yang tergolong pada tingkat tinggi merupakan peluang untuk siswa untuk mengembangkan rasa percaya diri, keindahan dan keteraturan matematika, dan menghargai pemdapat yang berbeda. Pengutamaan pengembangan berpikir matematik tersebut menjadi semakin penting manakala dihubungkan dengan tuntutan kemajuan IPTEKS dan suasana bersaing yang semakin ketat terhadap lulusan berbagai jenjang pendidikan.

standar proses pemb mat 1 ok

STANDAR PROSES PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Pembelajaran Matematika yang dirumuskan oleh National Council of Teachers of Matematics atau NCTM (2000) menggariskan, bahwa siswa harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Ada lima standar proses dalam pembelajaran matematika, yaitu: pertama, belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); kedua, belajar untuk bernalar dan bukti (mathematical reasoning and proof); ketiga, belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); keempat, belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); dan kelima, belajar untuk mempresentasikan (mathematics representation). Pada tugas yang ke-4 ini akan ditelaah kelima standar proses yang telah disebutkan di atas satu per satu, yaitu sebagai berikut :

1. Pemecahan masalah matematika (mathematical problem solving)

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak terlepas dari sesuatu yang namanya masalah, sehingga pemecahan masalah merupakan fokus utama dalam pembelajaran matematika. Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon siswa. Tidak semua pertanyaan merupakan suatu masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh prosedur rutin yang sudah diketahui oleh siswa. Apabila kita menerapkan pengetahuan matematika, keterampilan atau pengalaman untuk memecahkan suatu dilemma atau situasi yang baru atau yang membingungkan, maka kita sedang memecahkan masalah. Untuk menjadi seorang pemecah masalah yang baik, siswa membutuhkan banyak kesempatan untuk menciptakan dan memecahkan masalah dalam bidang matematika dan dalam konteks kehidupan nyata. Aktivitas-aktivitas yang tercakup dalam kegiatan pemecahan masalah, meliputi: mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah situasi sehari-hari dan metematik; menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau luar matematika; menjelaskan/ menginterpretasikan hasil sesuai masalah asal; menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara bermakna. Strategi untuk memecahkan suatu masalah matematika bergantung pada masalah yang akan dipecahkan. Strategi pemecahan masalah yang bersifat umum, untuk memecahkan suatu masalah ada empat langkah yang dapat dilakukan, yakni:
a. Memahami masalah, kegiatan dapat yang dilakukan pada langkah ini adalah: apa (data) yang diketahui, apa yang tidak diketahui (ditanyakan), apakah informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang harus dipenuhi, menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat dipecahkan).
b. Merencanakan pemecahannya, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: mencoba mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan masalah yang akan dipecahkan, mencari pola atau aturan, menyusun prosedur penyelesaian (membuat konjektur).
c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menjalankan prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian.
d. Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada prosedur lain yang lebih efektif, apakah prosedur yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sejenis, atau apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya.
Dengan demikian inti dari belajar memecahkan masalah, supaya siswa terbiasa mengerjakan soal-soal yang tidak hanya mengandalkan ingatan yang baik saja, tetapi siswa diharapkan dapat mengaitkan dengan situasi nyata yang pernah dialaminya atau yang pernah dipikirkannya. Kemudian siswa bereksplorasi dengan benda kongkrit, lalu siswa akan mempelajari ide-ide matematika secara informal, selanjutnya belajar matematika secara formal.

2. Penalaran dan pembuktian matematika (mathematical reasoning and proof )
Yang dimaksudkan siswa memiliki kemampuan memberi alasan yang masuk akal, belajar untuk bernalar dan pembuktian adalah siswa mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang dilakukan dengan cara untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan yang bersifat umum dapat ditarik dari kasus-kasus yang bersifat individual disebut penalaran induktif. Tetapi dapat pula sebaliknya, dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual, penalaran seperti itu disebut penalaran deduktif. Penalaran matematis penting untuk mengetahui dan mengerjakan matematika. Kemampuan untuk bernalar menjadikan siswa dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya, di dalam dan di luar sekolah. Kapanpun kita menggunakan penalaran untuk memvalidasi pemikiran kita, maka kita meningkatkan rasa percaya diri dengan matematika dan berpikir secara matematik. Adapun aktivitas yang tercakup di dalam kegiatan penalaran matematik meliputi: menarik kesimpulan logis; menggunakan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan; memperkirakan jawaban dan proses solusi; menggunakan pola dan hubungan; untuk menganalisis situasi matematik, menarik analogi dan generalisasi; menyusun dan menguji konjektur; memberikan lawan contoh (counter example); mengikuti aturan inferensi; memeriksa validitas argument; menyusun argument yang valid; menyusun pembuktian langsung, tak langsung dan menggunakan induksi matematik.
Secara rinci pembelajaran ini bertujuan untuk memberdayakan anak sampai pada tingkat:
1.Mengenali dan meyakini bahwa memberikan alasan yang masuk akal (bernalar) dan bentuk pembuktian adalah aspek yang mendasar di dalam belajar matematika.
2.Membuat dan memeriksa kembali perkiraan matematika yang telah diduga sebelumnya.
3.Mengembangkan dan mengevaluasi pernyataan matematika dan pembuktiannya.
4.Memilih dan menggunakan berbagai macam bentuk penalaran dan metode pembuktian.
Bernalar secara sistematis adalah keistimewan yang pasti ada pada matematika. Menyelidiki , mencari kebenaran, dan menggunakan perkiraan matematika pada umumnya semua terdapat pada esensi lingkup matematika, dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda pada semua jenjang. Melalui penggunaan penalaran, siswa-siswa belajar dengan matematika untuk mendapatkan pengertian. Penalaran dan mencari bukti harus konsisten dan terbentuk dari pengalaman matematika siswa terebut sejak usia 12 tahun.
Penalaran secara matematik dijadikan suatu kebiasaan yang muncul dari ide pikirannya, dan kebiasaan-kebiasaan itu harus dikembangkan secara kosisten dalam banyak hal di jenjang kelas awal. Pada semua tingkat para siswa memberi alasan secara induktif dari pola-pola dan kasus-kasus khusus. Sebagai contoh untuk membuktikan secara informal dengan kontradiksi,yaitu membuktikan bahwa 0 adalah bilangan genap adalah : ”Jika 0 bilangan ganjil maka 0 dan 1 akan menjadi dua buah bilangan ganjil dalam sebuah barisan. Tetapi ganjil genap adalah selang-seling. Maka 0 haruslah genap.
Di sekolah dasar anak harus belajar membuat pernyataan deduktif efektif yang baik. Menggunakan kebenaran matematika yang mereka tetapkan di kelas. Pada kelas akhir sekolah menengah para siswa dapat memahami dan meperoleh beberapa bukti matematika, menyimpulkan dari hipotesis-hipotesis secara logis dan deduktif dan bisa menilai isi dari suatu argumen-agumen.
Di jejang kelas sekolah menengah lebih lanjut akan belajar berbagai metode pembuktian, antara lain :
1.Pembuktian langsung.
2.Pembuktian dengan cara kontradiksi.
3.Pembuktian dengan cara kontraposisi.
4.Pembuktian dengan cara induksi matematika.
Dengan pembiasaan bernalar siswa dapat pula memutuskan metode pembuktian apa yang harus digunakan untuk menghadapi permasalahan pembuktian matematika dan mampu berpikir logis dalam mengatasi permasalahan kehidupan sehari-hari.

3. Komunikasi matematis (mathematical communication)
Komunikasi matematika merefleksikan pemahaman matematik dan merupakan bagian dari kekuatan matematika. Siswa-siswa mempelajari matematika seakan-akan mereka berbicara dan menulis tentang apa yang mereka sedang kerjakan. Mereka dilibatkan secara aktif dalam mengerjakan matematika, ketika mereka diminta untuk memikirkan ide-ide mereka, atau berbicara dengan dan mendengarkan siswa lain, dalam berbagi ide, strategi dan solusi. Menulis mengenai matematika mendorong siswa untuk merefleksikan pekerjaan mereka dan mengklarifikasi ide-ide untuk mereka sendiri. Membaca apa yang siswa tulis adalah cara yang istimewa untuk para guru dalam mengidentifikasi pengertian dan miskonsepsi dari siswa.
Indikator komunikasi matematis menurut NCTM (1989), dapat dilihat dari:
1.Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual;
2.Kemampuan memahami, mengiterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya;
3.Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyejikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi.
Komunikasi matematis meliputi kemampuan siswa:
1.menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika;
2.menjelaskan idea, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar;
3.menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbul matematika;
4.mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika;
5.membaca dengan pemahaman atau presentasi matematika tertulis;
6.membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi dan generalisasi;
7.menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.

4. Koneksi matematika (mathematical connections)
Koneksi matematis merupakan pengaitan matematika dengan pelajaran lain, atau dengan topik lain. Koneksi matematik (Mathematical Connections) merupakan kegiatan yang meliputi:
1. mencari hubungan antara berbagai representasi konsep dan prosedur;
2. memahami hubungan antar topik matematik;
3.menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari;
4. memahami representasi ekuivalen konsep yang sama;
5. mencari koneksi satu prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen;
6. menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antar topik matematika dengan topik lain.
Pembelajaran matematika kini telah berpindah dari pandangan mekanistik kepada pemecahan masalah, meningkatkan pemahaman, dan kemampuan berkomunikasi secara matematika dengan orang lain. Jika pada pengajaran matematika di masa lalu siswa diharapkan bekerja secara mandiri dan dapat menguasai algoritma matematika melalui latihan secara intensif. Selanjutnya kurikulum yang sekarang, matematika didesain dan dikembangkan untuk mengembangkan daya matematis siswa, melalui inovasi dan implementasi berbagai pendekatan dan metode. Hal tersebut digunakan untuk membangun kepercayaan diri atas kemampuan matematika mereka melalui proses
(1) Memecahkan masalah;
(2) Memberikanalasan induktif maupun deduktif untuk membuat,
mempertahankan, dan mengevaluasi argumen secara matematis;
(3) Berkomunikasi, menyampaikan ide/gagasan secara matematis;
(4) Mengapresiasi matematika karena keterkaitannyadengan
ilmu lain, aplikasinya pada dunia nyata.

5. Menyajikan matematika (mathematics representation)
Kemampuan manyajikan matematika (mathematics representation) merupakan standar proses yang kelima yang harus dimiliki peserta didik setelah memiliki kemampuan standar proses sebelumnya sebagai penyempurna tujuan pembelajaran matematika. Adapun kemampan menyajikan matematika meliputi antara lain :
1.Menciptakan dan menggunakan representasi untuk menyusun, merekam, dan mengokumikasikan ide matematika.
2.Dapat memilih, menggunakan dan menterjemahkan setiap representasi matematika untuk memecahkan masalah.
3.Menggunakan model penyajian dan menginterpretasikan secara fisik, sosial, dan phenomena matematika.
Penyajiannya tergantung pada pemahaman siswa terhadap konsep matematika dan keterhubungannya. Penyajian yang diikuti siswa untuk mengkomunikasikan pendekatan matematika, argumen, dan pemahaman diri mereka dan yang lain.

pengemb kurikulum 2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kurikulum Matematika
2.1.1 Definisi Kurikulum Matematika
Hudojo (2005: 3) “Program yang disusun terinci sehingga menggambarkan kegiatan siswa di sekolah dengan bimbingan guru disebut kurikulum”. Selanjutnya menurut Hamalik (2010: 65) ”Kurikulum sebagai pengalaman belajar yang mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di luar maupun di dalam sekolah asal kegiatan tersebut di bawah tanggung jawab guru (sekolah)”.
Kemudian menurut UU No. 20 Tahun 2003 Sisdiknas (dalam http://hasanahworld.files.wordpress.com/2012/02/definisi-dan-sejarah.kurikulum.pdf) “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Dari beberapa definisi kurikulum tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah program perencanaan yang disusun berdasarkan tujuan, isi dan bahan pelajaran yang mengacu pada pengalaman-pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
Hudojo (2005: 3) menyatakan “Kurikulum matematika adalah suatu kurikulum yang berhubungan dengan matematika dan cara mengorganisasikan materi matematika menggunakan jawab pertanyaan: mengapa, apa, bagaimana, dan kepada siapa matematika diajarkan disekolah”.
2.1.2 Komponen-komponen Kurikulum
Sudjana (dalam http://matematikalujeng.blogspot.com/2012/11/perubahan-kurikulum.html) menyatakan: “Kurikulum memiliki 5 komponen yakni: tujuan kurikulum, isi dan struktur kurikulum, strategi kurikulum, sarana kurikulum, sistem evaluasi kurikulum. Perubahan-perubahan kurikulum terjadi pada kelima komponen tersebut”. Adapun 5 komponen yang mengalami perubahan tersebut adalah:
1. Perubahan dalam tujuan kurikulum
            Perubahan ini didasarkan kepada pandangan hidup masyarakat dan falsafah bangsa. Tanpa tujuan yang jelas, tidak akan membawa perubahan yang berarti, dan tidak ada petunjuk kemana pendidikan diarahkan. Contohnya visi dan misi sekolah
            2. Perubahan isi dan struktur kurikulum
            Perubahan ini meninjau struktur mata pelajaran yang diberikan kepada siswa termasuk isi dari setiap mata pelajaran. Perubahan ini dapat menyangkut aktivitas belajar anak, pengalaman yang harus diberikan kepada anak. Contohnya penggolongan pendidikan umum dan keahlian.
            3. Perubahan strategi kurikulum
            Perubahan ini menyangkut pelaksanaan kurikulum itu sendiri yang meliputi perubahan teori belajar mengajar, perubahan sistem administrasi, bimbingan dan penyuluhan. Contohnya penerapan strategi active learning, cooperative learning, dll
            4. Perubahan sarana kurikulum
Perubahan ini menyangkut ketenagaan baik dari segi kualitas dan kuantitas, juga sarana material. Contohnya perlengkapan sekolah berupa laboratorium, perpustakaan, alat peraga.
           
5. Perubahan dalam sistem evaluasi
Perubahan ini menyangkut metode/cara yang paling tepat untuk mengukur/menilai sejauh mana kurikulum berjalan efektif dan efisien, relevan, produktivitas  terhadap program pembelajaran sebagai suatu sistem dari kurikulum.
2.2 Sejarah Perkembangan Kurikulum Matematika Sekolah
Perubahan kurikulum terjadi sejak tahun 1947. Menurut Longsani (dalam http://longsani.wordpress.com/2012/11/28/kurikulum-yang-pernah-ada-di-indonesia/) berdasarkan tahun terjadinya perubahan untuk tiap kurikulum maka muncullah nama-nama kurikulum berikut:
1.      Kurikulum 1947 (Rentjana Pelajaran 1947)
2.      Kurikulum 1952 (Rentjana Pendidikan Terurai 1952)
3.      Kurikulum 1964 (Rentjana Pendidikan 1964)
4.      Kurikulum 1968
5.      Kurikulum 1975
6.      Kurikulum 1984
7.      Kurikulum 1994 (GBHN 1994)
8.      Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK).
9.      Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP)
Sejak tahun 1968, di Indonesia telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum matematika sekolah. Menurut Didi Suryadi (dalam http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/195802011984031-DIDI_SURYADI/DIDI-18.pdf menyatakan perubahan kurikulum matematika sekolah.
Tahun
Ciri-ciri Kurikulum
Materi Matematika
1968
1. Lebih mengutamakan hafalan yang sifatnya mekanis daripada pengertian.
2. Diutamakan pengerjaan soal-soal latihan guna meningkatkan daya ingat akan rumus-rumus.
3. Teori belajarnya teori belajar Skinner
1.Pengajaran geometri, penekanan lebih diberikan pada keterampilan berhitung.
2.Materi pelajaran matematika yang lain lebih menekankan pada penggunaan rumus-rumus bukan bagaimana rumus-rumus untuk melakukan perhitungan tersebut diperoleh.
1975
1. Pengajaran lebih menekankan pada pengertian, dan berpusat pada siswa.
2. Soal-soal bersifat pemecahan masalah daripada bersifat rutin.
3. Pengajaran menggunakan teori belajar Piaget dan Brunner yang sentral pengajarannya adalah pemecahan masalah.
1. Geometri bidang dan ruang
2. Statistika dan probabilitas
3. Relasi
4. Sistem numerasi kuno
5. Penulisan lambang bilangan non-desimal
1984
Cirinya sama dengan kurikulum tahun 1984
Materi pengenalan kalkulator, mulai diberikan.
1994
1.Penggunaan kembali teori belajar Skinner yang lebih menekankan pada kemampuan berhitung pada tingkat sekolah dasar.
2. SMP dan SMU teori belajar yang digunakan dalam proses belajar-mengajar dari teori belajar Piaget dan Brunner.
SD: aritmatika (berhitung), pengantar aljabar, geometri pengukuran, pengantar statistik.
SMP: aritmatika, aljabar, peluang, geometri, dan statistika.
SMA: Pengenalan teori graf
2002
1.Pembelajaran lebih menekankan pada kemampuan pemecahan masalah, kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif.
2. Berpusat pada anak sebagai pengembangan pengetahuan
SD: bilangan, geometri dan pengukuran, pengenalan statistika
SMP: bilangan, aljabar, geometri, peluang dan statistika.
SMU: aljabar, geometri dan pengukuran, triginometri, peluang dan statistika, logika matematika.
2006
Pembelajaran digunakan dengan metode belajar yang bervariasi.
Materi pelajaran masih sama seperti pada kurikulum 2004.




2.3 Model Pengembangan Kurikulum Matematika Sekolah
Hudojo (2005: 3) menyatakan:
Kurikulum matematika yang disusun itu harus ditangani oleh guru-guru yang kompeten. Bagaimanapun baiknya kurikulum apabila ditangani oleh guru yang tidak kompeten, prestasi belajar siswa tidak dapat diharapkan berhasil baik. Dengan kurikulum yang baik ditangani guru yang kompeten, kurikulum tersebut akan dapat dilaksanakan di depan kelas. Pelaksanaan kurikulum di depan kelas benar-benar sangat tergantung kemampuan dan keterampilan seorang guru.
            Empat pertanyaan yang harus dijawap untuk pengembangan isi dan struktur kurikulum matematika menurut Hudojo (2005: 10-12) yakni:
            1. Mengapa topik-topik matematika tertentu harus diajarkan?
2. Topik matematika apa yang harus diajarkan?
            3. Bagaimana topik-topik matematika diajarkan?
            4. Kepada siapa topik-topik matematika diajarkan?
                       
            Menurut Hudojo (2005: 7) Model pengembangan isi dan struktur kurikulum memiliki empat komponen yakni:
                        1. Obyektif
            Obyektif didefinisikan sebagai suatu pernyataan hasil yang dikehendaki yaitu suatu pernyataan yang menunjukkan sebagai apa pelajar itu bila telah menyelesaikan dengan sukses proses pengalaman belajarnya. Mager (dalam Hudojo, 2005: 15) menyatakan bahwa obyektif itu harus dinyatakan sebagai tingkah laku siswa.
Untuk merumuskan obyektif, menurut Mager (dalam Hudojo, 2005: 16) perlu diperhatikan langkah-langkah berikut:
a. Bermakna                                          
Obyektif kita itu bermakna apabila kita berhasil mengkomunikasikan obyektif itu kepada pembaca apa yang kita maksudkan. Misalkan kita rumuskan suatu obyektif untuk seseorang dan kemudian dia mengajar siswa-siswanya. Siswa-siswa itu bertindak seperti apa yang kita pikirkan; ini berarti obyektif yang kita susun itu bermakna, tidak disalah tafsirkan.
b. Mengidentifikasi tingkah laku terminal
            Yang dimaksud tingkah laku terminal adalah tingkah laku siswa yang kita kehendaki, yakni siswa itu mampu mendemonstrasikan apa yang kita ajarkan kepadanya pada akhir program.
Misalnya, mengembangkan pengertian persamaan kuadrat, ini tidak dinyatakan di dalam penampilan sebab kita tidak dapat mengobservasi apa yang sedang dikerjakan siswa ketika ia mengerti persamaan kuadrat. Sebenarnya pernyataan itu tidak jelas dan karena itu komunikasi menjadi gagal. Lebih baik bila obyektif itu dimisalkan mampu menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel, sebab obyektif ini mengatakan bahwa siswa akan menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel pada akhir program.
c. Menetapkan tingkah laku terminal
Menetapkan tingkah laku terminal lebih lanjut dengan menyatakan persyaratan seperti guru merasa puas apabila siswa dapat mendemonstrasikan penguasaan obyektif.
Misalnya, siswa harus mampu menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel dengan menggunakan metode eliminasi. Obyektif ini lebih terinci sebab guru matematika akan mengerti yang dikehendaki yaitu tidak hanya suatu jawaban yang benar saja melainkan juga suatu prosedur khusus.
d. Menyatakan Kriteria                                  
            Untuk menilai apakah tingkah laku terminal itu dapat tercapai, diperlukan suatu kriteria. Misalnya, siswa harus mampu menyelesaikan paling sedikit 5 buah soal tentang sistem persamaan linear dua variabel dengan menggunakan metode eliminasi dalam waktu 15 menit. Jadi obyektif ini memasukkan persyaratan waktu. Dengan demikian guru dapat menentukan apakah siswanya telah mencapai obyektif.
                        2. Pemilihan Topik dan Pengalaman Belajar
·         Pemilihan Topik Belajar
Usaha untuk mencapai suatu komposisi materi matematika yang tepat dan ke dalaman yang cukup sehingga silabus matematika di sekolah dapat dipertanggung jawabkan. Dengan ke dalaman yang cukup berarti materi yang disajikan itu tidak berlebihan, tetapi cukup untuk memberikan dasar kepada siswa agar kelak mereka mampu mengembangkan dirinya baik terhadap aplikasinya maupun matematika sebagai ilmu murni.
Untuk itu kriteria pemilihan materi matematika secara umum adalah:
a. Validitas, materi yang dipilih harus mendukung tercapainya tujuan yang telah dirumuskan. Dengan demikian materi yang kita pilih itu tidak menyimpang dari tujuan yang sudah kita tetapkan. Misalnya obyektif yang telah kita tetapkan yakni siswa mampu menyelesaikan masalah sehari-hari dengan sistem persamaan linear dua variabel. Materi yang dipilih untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut adalah soal cerita yang penyelesaiannya menggunakan sistem persamaan dua variabel, bukan sistem persamaan linear tiga variabel. Soal cerita sendiri juga dibatasi pada persoalan sehari-hari bukan mengenai sains murni. Sehingga materi yang dipilih tidak berlebihan.
b. Signifikan, konsep-konsep yang disusun berhubungan sedemikian hingga berurutan secara hierarki dan merupakan kesatuan yang utuh. Yang perlu diperhatikan juga untuk konsep yang  sama, harus dijamin bahwa suatu konsep yang diajarkan disuatu tingkat tidak bertentangan dengan tingkat sebelumnya atau berikutnya. Misalnya sebelum mempelajari sistem persamaan linear dua variabel, telah dipelajari terlebih dahulu persamaan linear satu variabel, persamaan linear dua variabel, kemudian sistem persamaan linear dua variabel.
c. Kesiapan kegunaan, materi yang dipilih untuk disajikan harus mudah dipelajari siswa dan dapat dilaksanakan di depan kelas. Jadi di dalam memilih materi kesiapan siswa perlu mendapat perhatian yang serius di samping itu kegunaan dari materi yang dipilih itu perlu mendapat perhatian yang serius. Misalnya konsep sistem persamaan linear dua variabel, selain dapat menghitung nilai-nilai variabelnya. Siswa mampu mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pada saat berbelanja.
·         Pemilihan Pengalaman Belajar
Proses belajar akan berjalan sebagaimana mestinya bila siswa ikut berpartisipasi dengan aktif. Pemilihan jenis pengalaman belajar cenderung kepada bagaimana mengaktifkan siswa di dalam mempelajari materi matematika. Pengalaman belajar yang lampau sangat mempengaruhi proses belajar yang sedang dialami siswa. Jika pengalaman belajar yang lampau hanya sekedar berlatih keterampilan memanipulasi simbol-simbol tanpa pengertian, dikhawatirkan proses pemahaman terhadap konsep baru tidak tercapai.
Kriteria pemilihan pengalaman belajar:
a. Validitas
            b. Variasi
            c. Kesiapan
            3. Organisasi dan Integrasi Topik-topik dan Pengalaman Belajar
            Topik-topik dan pengalaman belajar haruslah dikombinasikan menurut urutan sehingga efektif.  Contohnya pelajaran matematika di SMA diawali dengan bilangan rasional, bentuk pangkat positif, pangkat negatif, bentuk akar dan pangkat pecahan, sifat-sifat pangakat rasional, logaritma.
            4. Penilaian
            Kurikulum tidak hanya mengenai bagaimana topik dan pengalaman belajar disusun dan diintegrasikan, melainkan seperti apa hasilnya. Misalnya guru memberikan tes sebagai suatu alat ukur dan menetapkan apakah obyektif yang dirumuskan tercapai atau tidak. Hasilnya lah yang digunakan untuk mendiagnosa kelemahan dan kekuatan komponen-komponen mana yang perlu diperbaiki.