Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme,
pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke
pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun
struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang
dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai
botol-botol kcil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai
dengan kehendak guru.
Sehubungan
dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam
teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalahperan
aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua
adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian
secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan
informasi baru yang diterima.
Wheatley
(1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip
utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama,
pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif
oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan
membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua
pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak
secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan
pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara
spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah
mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah
diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi
matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan
mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika tersebut.
Selain
penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori
belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek
dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, yaitu (1) siswa
mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide
yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa
mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai
kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu
pengetahuan dengan temannya.
Dalam
upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996:
20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan
pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan
kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih
kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan
gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif.
Dari
beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang
mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada
kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan
kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan
dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi.
No comments:
Post a Comment